cuma mau ngeshare cerita ini yg gua copas dr kakak gue.hahha
Maret 8th, 2009 by Onik
Sesekali kulirik mamaku yang tengah asyik bermain sebuah boneka. Kalau kalian duga mamaku gila, kalian salah besar. Mamaku tidak gila, melainkan memiliki mental terbelakang, idiot atau istilah asingnya, Down Syndrome. Yah, mamaku dilahirkan dengan cacat itu. Cacat mental yang memiliki ciri wajah yang khas dengan mata sipit, ”jembatan” hidung datar dan lebar, dan lidah besar dengan mulut kecil cenderung terbuka.
Sementara aku? Aku adalah anak haram, hasil pemerkosaan seseorang pemuda tak berperasaan yang tega berbuat hal sekeji itu pada mamaku. Entah siapa dia, aku tak pernah tahu, sebab Mama tak pernah lagi mengingat peristiwa itu.
Lalu siapa yang selama ini merawatku sampai di usiaku yang ke-18 tahun ini? Nenek, mama dari mamaku. Nenek yang sangat menyayangi aku, dan bekerja keras mencukupi kebutuhanku dan Mama. Seorang nenek yang kuat dan tabah, yang selalu memberiku kekuatan di saat teman-temanku mengolok-olokku karena memiliki Mama yang idiot. Atau beberapa teman cowok yang akhirnya urung mendekatiku karena alasan yang sama. Kadang aku menyesal kenapa aku musti dilahirkan dari rahim seorang wanita seperti mamaku. Tapi Nenek selalu menenangkan aku dengan mengatakan,
“Kamu seharusnya bersyukur, Mei, karena kamu bisa lahir dengan sempurna dan sangat cantik, meskipun mama kamu dalam keadaan yang nggak sempurna.”
Namun kini Nenek telah pergi selamanya, meninggalkan aku dan Mama sendiri. Sebuah mobil menabraknya beberapa waktu lalu sepulang dari berjualan nasi di pasar. Aku hanya bisa menangis, karena harus kehilangan seorang nenek yang masih sangat aku butuhkan kehadirannya. Yang jelas aku belum siap merawat Mama sendirian, Mama yang sering membuatku merasa malu, minder, dan marah karena kelakuannya yang terkadang tak masuk akal, menjengkelkan, dan merepotkan, seperti sekarang.
Sudah beberapa hari ini Mama tak mau makan. Setiap suap nasi yang kumasukkan ke mulutnya, selalu disemburkannya kembali, kadang sengaja dia semburkan tepat mengenai wajahku. Atau setiap kuajak tidur siang, malah marah dan mengacak-acak tempat tidur. Tingkahnya benar-benar membuatku kesal. Belum lagi aku harus cari kerja agar aku dan Mama tetap bisa makan. Lalu kalau begini, siapa yang lebih pantas jadi seorang anak? Aku atau mamaku? Aku merasa kalau kini aku yang harus menjadi mama dari mamaku, mama dari seorang anak yang idiot!
“Hhhh, sabar Mei. Walau bagaimanapun, dia adalah seorang wanita yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kamu,” aku berbicara pada diriku sendiri sambil mengusap dada.
Sepertinya memang aku harus mulai belajar untuk menerima mamaku apa adanya, meskipun seluruh dunia menertawaiku.
Kuhela nafasku panjang, lalu kembali menatap koran yang terpapar di hadapanku untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Aku berharap kali ini mendapatkan apa yang aku cari, sebuah pekerjaan. Yah, meskipun aku tahu sangatlah susah untuk mendapatkannya apalagi aku hanya mengantongi ijazah SMU. Tak lama kemudian mataku tertuju pada sebuah lowongan kerja yang menurutku cukup menarik. Sebagai penyanyi di sebuah kafe. Syaratnya cukup mudah, hanya perlu bisa menyanyi, tak perlu sekolah yang tinggi. Lalu aku pun bergegas menulis surat lamaran dan memenuhi semua persyaratannya.
***
Sudah sebulan aku bekerja. Penghasilanku cukup lumayan, bahkan sangat cukup untuk kebutuhan kami berdua. Di sana aku berkenalan dengan Alvian, seorang pria paruh baya, berprofesi sebagai pencari bakat. Suatu ketika, dia menawarkan padaku pekerjaan yang lebih besar, menjadi seorang artis. Aku sampai tertawa dibuatnya. Yang jelas aku tak percaya dengan tawarannya yang terkesan terlalu muluk untukku. Tapi dia bersikeras mengatakan kalau dia serius, ingin mengorbitkan aku karena wajahku yang cantik dan suaraku yang sangat unik. Akhirnya aku pun mengiyakannya.
***
Di tengah perjalananku menjadi seorang artis, aku bertemu dengan Yoga, seorang model yang pernah menjadi pasanganku saat pemotretan untuk sampul sebuah majalah. Yoga adalah seorang pria yang sempurna di mataku. Tubuhnya tinggi atletis, wajahnya cukup tampan, dan dia sangat perhatian. Betapa bahagianya aku saat dia memintaku untuk jadi kekasihnya. Sungguh tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Hingga pada suatu saat…
Tiba-tiba Yoga ada di depan pintu rumahku. Jelas itu membuatku panik. Lalu aku pun bergegas memasukkan Mama ke kamar dan menguncinya sebelum aku membuka pintu rumahku untuk Yoga. Mungkin kalian akan bilang aku jahat, tapi aku mempunyai setumpuk pengalaman buruk yang memaksaku melakukannya. Aku benar-benar tak mau Yoga tahu keadaan mamaku, yang jelas aku tak mau kehilangannya karena itu!
Namun apa yang terjadi? Ketika kami tengah asyik bercengkerama, terdengar suara Mama menangis meraung-raung sambil menggedor-gedor pintu kamar. Dia berteriak ingin ke kamar mandi, berteriak dengan suara parau yang tak jelas. Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengar, jadi hanya aku yang tahu. Yoga menatapku bingung lalu bertanya,
“Siapa itu, Mei?”
Aku tak tahu harus berkata apa pada Yoga. Aku hanya kesal karena biasanya Mama sangat betah berada di kamar, setidaknya untuk dua atau tiga jam ke depan. Hhh, sial! Akhirnya aku pun terpaksa mengeluarkan mamaku dari kamar. Saat itu juga Yoga menatapku dengan wajah marah.
“Aku nggak nyangka kamu bisa berbuat setega itu pada seseorang yang sangat lemah! Kamu nggak punya hati, Mei!”
“Apa menurutmu kamu bisa menerima aku, kalo kamu tahu, aku adalah anak orang cacat!!!” teriakku tak mau kalah. Yoga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Kamu sudah gila, Mei! Apalagi dia itu mama kamu!” katanya lalu meninggalkan aku.
Uuuuh!!!
“Ini sudah cukup!!!”
Tanpa sadar akupun mendorong tubuh mamaku hingga tersungkur ke lantai. Hatiku dikuasai oleh amarah, dan yang jelas aku kecewa, karena Mama aku jadi kehilangan Yoga.
Akhirnya aku pun menitipkan Mama di sebuah panti. Meskipun Mama hanya diam, aku tahu sebenarnya dia sedih, terlihat dari sorot matanya saat aku meninggalkannya. Kasihan? Sama sekali tidak, karena ini harus aku lakukan. Aku tak mau kehidupanku hancur karena Mama! Aahhh, biar semua orang menganggap aku anak durhaka, aku tak peduli, toh aku melakukan semua ini juga untuk Mama, biar mama bisa hidup enak dan senang. Aku mencari pembenaran untuk diriku sendiri. Terserah!
***
Sore harinya, Alvian tiba-tiba saja datang ke rumah. Entah kenapa kali ini wajahnya terlihat sangat genit, seperti ingin menggodaku. Menggodaku?
“Mei, aku punya tawaran khusus buat kamu,” kata Alvian seraya menyentuh daguku dan menariknya pelan.
“Apa itu, Mas?” tanyaku sambil berkelit. Lalu Alvian duduk di sofa dan menatap ke sekeliling sudut rumah kumuhku.
“Kurasa seorang artis secantik kamu nggak sepantasnya tinggal di gubuk seperti ini. Bagaimana kalau aku tawarkan ke kamu sebuah apartemen mewah, kamu mau?”
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
“Aku serius, asal…. asal kamu mau melayani aku,” katanya tanpa basa-basi mengejutkanku, sementara tangannya berusaha menggerayangi tanganku.
Apartemen? Memang menggiurkan untukku. Tapi bila aku dapatkan dengan menjual diriku, itu sama saja dengan menandai keningku dengan kata “MURAHAN” dan aku tak mau itu, yang jelas aku bukan cewek seperti itu. Sejahat-jahatnya aku pada Mama, aku tidak akan pernah mau mempermalukan dia.
“Aku nggak mau. Maaf,” jawabku singkat, seraya mengibaskan tangan Alvian yang mulai nakal.
“Kalo dengan Yoga kenapa kamu mau? Dia itu masih kere dibandingin aku, Mei!”
“Tapi aku mencintai dia! Itu beda!” ucapku tegas.
Namun Alvian tetap memaksa dan terus berusaha, dia bilang sangatlah tergila-gila padaku dan ingin memilikiku. Segala ucap rayu dia lontarkan, namun aku tetap tak mau.
Hingga akhirnya dia berbuat nekad, mencoba memperkosaku. Bahkan tubuhnya yang berat kini telah menindihku! Dan aku pun dengan segenap kekuatanku, terus berusaha melawan iblis yang ada di hadapanku, sampai pada akhirnya aku melihat Mama memukuli punggung Alvian dengan sapu, sambil berteriak-teriak parau. Mama sangat histeris, suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Alvian berusaha melepaskan diri dari amukan Mama, dan berhasil mengambil sapu itu dari tangan Mama. Lalu, DUGHH!!! Alvian menyodok perut Mama dengan sapu yang dipegangnya sekeras-kerasnya hingga Mama terjatuh tepat di atas meja kaca.
“Mama!!!” Aku bergegas menolongnya, sementara Alvian lari tungggang langgang ketakutan.
Airmataku tak bisa berhenti mengalir, melihat mamaku bersimbah darah terkena pecahan-pecahan kaca. Kulihat mamaku tersenyum dengan wajah khasnya, dan berkata,
“Aku mau tinggal di rumahku. Jangan bawa aku kemana-mana ya.” Sebuah kalimat yang hanya aku yang mampu mengartikannya.
“Tapi aku mau bawa Mama ke rumah sakit, luka Mama sangat parah,” kataku.
Mama menggeleng lalu menghembuskan nafas terakhirnya di pelukanku. Mustahil bukan? Hanya karena kena pecahan kaca, mamaku meninggal!!! Lalu aku pun berniat mengangkat tubuhnya, ternyata salah satu rangka besi meja itu menancap di punggungnya, tepat menembus jantungnya. Aku pun berteriak-teriak histeris.
Kriiing!!! Suara telepon mengejutkanku, dengan tangan berlumuran darah aku mengangkat telepon itu.
“Halo, bisa bicara dengan Mbak Meira? Ini dari panti. Saya mau minta maaf dan memberitahu Mbak, kalo ibu Mbak kabur dan saya tidak tahu ke mana? Apakah beliau sudah sampai di rumah, atau…” Klik. Lalu aku pun kembali menangis.
Yang jelas aku sangat menyesal, telah menyingkirkan Mama dari rumah dan hidupku hanya karena kecacatannya, sementara di balik semua itu tersimpan rasa cinta yang begitu dalam kepadaku, anaknya.
“Mama, maafkan aku.”
***
Kini, aku hanya bisa memandangi setiap sudut ruang pengap yang kotor ini, setelah setahun lalu aku nekad menghabisi nyawa Alvian.
Komentar
Posting Komentar